GEOMORFOLOGI DAN KLASIFIKASI TANAH
ANALISA KONDISI
KAWASAN DI SUB DAS KEDUANG UNTUK LAHAN PERTANIAN
(MIA
RAMADAYANTI/1625010137)
I.
Memahami
Lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS)
Lanskap adalah panorama suatu bidang di permukaan bumi
yang merupakan hasil dari proses-proses geomorfologi. Lanskap tersusun oleh
komponen berupa daratan, tanah dan penutup lahan. Salah satu contoh lanskap di
permukaan bumi adalah Daerah Aliran Sungai (DAS).
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah
daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang
menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui
sungai utama (Asdak, 2010). Penyimpanan dan pengaliran air dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam di
sekelilingnya sesuai dengan keseimbangan daerah tersebut. Proses tersebut
dikenal sebagai siklus hidrologi (Gambar 1.1.)
1.1 Terrain dan Geomorfologi
Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari formasi bentang lahan dan susunannya, yang meliputi bentuk muka bumi sebagai suatu kenampakan bentang alam pada satu cakupan yang luas (lanskap) sampai cakupan yang lebih detail berupa bentuk lahan ('landform') dan pola topografinya ('terrain'). 'Landform' dan 'terrain' terbentuk dari proses struktural (lipatan, patahan dan pengangkatan), proses pelapukan batuan induk (geologi), erosi, pengendapan dan vulkanisme yang menghasilkan konfigurasi ragam bentuk muka bumi berupa pegunungan, perbukitan dan dataran. Tingkat lebih detail pengenalan unsur-unsur 'terrain' sangat diperlukan dalam mempelajari karakteristik lanskap, khususnya karakteristik yang mempengaruhi besarnya potensi limpasan permukaan, erosi, banjir dan tanah longsor. Unsur 'terrain' seperti
kemiringan lereng, panjang lereng, arah lereng, konfigurasi lereng serta
keseragaman lereng sangat penting untuk diidentifikasi. (Rahayu dkk., 2009)
1.1.1
Kemiringan
Lereng
Kemiringan
lereng merupakan ukuran kemiringan lahan relatif terhadap bidang datar yang
secara umum dinyatakan dalam persen atau derajat. Kemiringan lahan sangat erat
hubungannya dengan besarnya erosi. Semakin besar kemiringan lereng, peresapan
air hujan ke dalam tanah menjadi lebih kecil sehingga limpasan permukaan dan
erosi menjadi lebih besar.
1.1.2
Panjang
lereng
Panjang lereng
merupakan ukuran panjang suatu lahan mulai dari titik awal kemiringan sampai
suatu titik dimana air masuk ke dalam sungai atau titik mulai berubahnya
kemiringan. Semakin panjang suatu lereng makin besar aliran permukaan yang
mengalir menuju ke ujung lereng, sehingga memperbesar peluang erosi. Besarnya
erosi yang terjadi di ujung lereng lebih besar daripada erosi yang terjadi di
pangkal lereng. Hal ini akibat adanya akumulasi aliran air yang semakin besar
dan cepat di ujung lereng.
1.1.3
Konfigurasi
lereng
Konfigurasi lereng merupakan lereng
yang permukaannya memiliki bentuk cembung atau bentuk cekung. Pada lereng yang
berbentuk cembung akan mudah mengalami erosi lembar sedangkan pada lereng yang
berbentuk cekung akan mengalami erosi parit atau alur.
1.1.4
Keseragaman
lereng
Pada suatu kawasan yang memiliki
lereng memiliki kemiringan yang tidak seragam, artinya pada kawasan tertentu
memiliki kemiringan yang curam dan untuk yang lainnya datar. Apabila kemiringan
lereng seragam jika terjadi erosi maka tingkat erosinya tinggi namun apabila
kemiringan tidak seragam nilai erosi lebih kecil.
1.1.5
Arah
lereng
Arah lereng merupakan arah hadap
lereng terhadap arah mata angin. Biasanya dinyatakan dalam utara (U), selatan
(S), barat (B), timur (T), timur laut (TL), tenggara (TG), barat daya (BD), dan
barat laut (BL). Arah lereng sangat berpengaruh terhadap tingkat penyinaran dan
curah hujan yang turun. Pada kawasan yang mendapatkan penyinaran matahari
intensif maka erosi akan jauh lebih besar daripada kawasan yang kurang
penyinaran matahari.
II.
Identifikasi
Sub DAS Keduang
Gambar
2. Peta Wilayah Sub DAS Keduang
Gambar 3. Peta Kontur Sub DAS Keduang |
Daerah Aliran
Sungai (DAS) Solo merupakan salah satu DAS yang masuk dalam kategori
superperioritas. Termasuk dalam kategori superprioritas karena pada DAS
tersebut sangat memprihatikan. Karena laju erosi yang semakin meningkat serta
produktifitas lahan menurun. Kondisi tersebut terjadi pada kawasan hulu dan
hilir DAS Solo. Salah satu Sub DAS yang menjadi penyebab tingginya laju
sedimentasi karena erosi di Waduk Gajah Mungkur adalah Sub DAS Keduang. (BP2TP DAS, 2003). Hal
ini ditandai dengan besarnya sedimentasi dari sub DAS Keduang yang mencapai
1.218.580 m3 /tahun (Ouchi, 2007). Berdasarkan
data dari Comprehensive Development Management Plan (CDMP) pada tahun 1999 sampai dengan 2000 sedimentasi WGM sudah
sangat besar sehingga mengurangi daya tampung waduk. Pada tahun 1982 sebagai
awal dioperasikannya Waduk Gajah Mungkur daya tampung waduk adalah 660 juta m3,
temuan terakhir pada oktober 2007 terdapat sedimen sebesar 151,50 juta m3 sehingga
daya tampungnya hanya sebesar 500 juta m3 saja. Penyumbang sedimen terbesar adalah dari
sungai Keduang yaitu sekitar 33% dari total keseluruhan sedimentasi yang
terjadi di Waduk Gajah Mungkur.
Sumber sedimentasi berasal
dari erosi permukaan tanah, penebangan pohon di daerah tangkapan air dan
kerusakan DAS yang merupakan lahan pasang surut. Erosi terbesar terjadi pada
lahan tegalan memasok sedimen sebesar 53% atau 9,1 juta ton/tahun, tegalan di
perkarangan rumah warga memasok sebesar 22% atau 38 juta ton/tahun kawasan
pemukiman 1,8 juta ton/tahun, dan kawasan hutan negara 1,5 juta ton/tahun. Luas
lahan kritis di daerah tampungan air waduk sekitar 1.087 km2 atau
sebesar 80,50% dari total daya tampung air secara keseluruhan. ( Rahman dan
Singgih, 2012).
Terjadinya kondisi lahan
yang kritis ini dikarenakan kegiatan pertanian yang tidak ramah lingkungan.
Selain itu terjadi alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian. Pada Sub
DAS Keduang ini temasuk bagian hulu dari DAS Bengawan Solo. Salah satu fungsi
utama DAS yang berada di bagian hulu adalah mengatur tata air. Untuk mengetahui
kondisi kawasan Sub DAS Keduang lebih lanjut perlu dilakukan identifikasi.
Identifikasi meliputi iklim dan Fisiografi serta topografi.
A. Kondisi Iklim
Kabupaten
Wonogiri, termasuk di dalamnya adalah Sub DAS Keduang memiliki iklim tropis
yang dipengaruhi angin Munson. Curah hujan terendah sekitar 1800 mm/tahun dan
tertinggi sekitar 2900 mm/tahun. Suhu rata-rata tahunan sekitar 26º C dengan
tingkat kelembaban udara berkisar antara 70 – 90 persen, sedangkan laju
penguapan rata-rata sekitar 4,5 mm/hari.
Sumber : Analisa Digital
Gambar 3. Peta Curah Hujan Sub DAS Keduang
A. Kondisi Fisiografi dan Topografi
Wilayah Sub DAS Keduang memiliki gradien sungai utama
sebesar 5.73% dan kemiringan rata-rata sub DAS-nya sebesar 21.08%. Bentuk sub
DAS-nya membulat dan sebagian besar terdiri dari batuan vulkanik tua yang telah
mengalami pengangkatan, patahan dan pelenturan. Sub DAS Keduang bertopografi
dari datar sampai bergunung dengan titik elevasi terendah 127 m diatas
permukaan laut (dpl) pada daerah genangan dan 1300 m dpl pada daerah lereng
gunung Lawu.
(a) KEMIRINGAN DAN PANJANG LERENG
Kemiringan
dan panjang lereng adalah dua sifat topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran
permukaan dan erosi. Kemiringan lereng di wilayah Sub DAS Keduang, dibagi
menjadi enam kelas kemiringan lereng yaitu :
(a) datar (0 - 3%) seluas 10.529
ha (24,9%), (b) berombak (>3 - 8%) seluas 12.245 ha (29,0%), (c)
bergelombang (>8 - 15%) seluas 5.950 ha (14,1%), (d) berbukit (>15 - 30%)
seluas 2.398 ha (5,7%), (e) agak curam (>30 - 45%) seluas 5.901 ha (14,0%),
dan (f) curam (>45%) seluas 5.238 ha (12,4%).
Sumber : Analisa Digital |
Gambar 5. Peta Kemiringan Lereng Sub DAS Keduang |
Kondisi topografi di Sub DAS Keduang secara
umum adalah datar
sampai bergelombang dengan
bentuk lahan (land
form) bukit-bukit kecil dan pola perbukitan, serta dibatasi oleh
punggung-punggung bukit yang bergelombang, khusus di wilayah selatan dibatasi oleh
punggung-punggung bukit yang
agak curam atau
bergunung dan curam. Apablia
digunakan sebagai lahan pertanian harus dilakukan kelola yang baik agar tidak
terjadi resiko yang menyebabkan kerusakan lingkungan di Sub DAS Keduang. Salah
satu contoh yaitu di buat sistem terasering. Artinya lahan pada daerah curam
tersebut di buat seperti teras. Hal tersebut untuk menekan laju erosi yang
mungkin akan terjadi. Namun, dalam kenyataannya akibat kelola kurang baik laju
erosi semakin meningkat karena besarnya penggunaan lahan tegalan tanpa di
iikuti kelola yang baik. Sehingga terjadi sedimentasi besar di Waduk Gajah
Mungkur. Berikut merupakan kelas lereng menurut Asdak (2004).
Tabel 1. Kelas Lereng
(a) KEMIRINGAN LAHAN
Penggunaan
lahan merupakan perwujudan atau perpaduan dari aktivitas manusia penghuni
wilayah yang bersangkutan dengan tingkat teknologi usahatani yang digunakan dan
jumlah kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Setiap pola penggunaan lahan dapat
mempengaruhi tingkat produktivitas lahan dan pendapatan, serta dapat
menimbulkan dampak lingkungan. Distribusi luas masing-masing jenis penggunaan
lahan di Sub DAS Keduang adalah hutan 2.725 ha (6,5%), kebun campuran 6.483 ha
(15,3%), sawah irigasi 8.166 ha (19,3%), sawah tadah hujan 7.357 ha (17,4%),
tegalan 6.243 ha (14,8%), pemukiman/bangunan 11.118 ha (26,3%) dan penggunaan
lain 170 ha (0,4%).
Sumber : Analisa Digital |
Gambar 6. Peta Kemiringan Lahan Sub DAS Keduang |
A. Kondisi Jenis Tanah
Berdasarkan
atas peta tanah tinjau skala 1 : 250.000 tahun 1973 yang dikeluarkan oleh
Lembaga Penelitian Tanah Bogor, Sub DAS Keduang memiliki beberapa jenis tanah
dengan kedalaman tanah sangat bervariasi, pada umumnya untuk jenis tanah
Litosol memiliki kedalaman tanah bervariasi antara kurang dari 10 cm. tanah
Latosol dan Mediteran memiliki kedalaman 60–100 cm dan untuk tanah Grumusol
dapat mencapai kedalaman tanah lebih dari 100 cm. Berdasarkan jenis sebaran
tanah di Sub DAS Keduang yaitu (a) Litosol seluas 6.736 ha (15,9%); (b)
Asosiasi Litosol dan Mediteran Coklat seluas 837 ha (2,0%); (c) Kompleks
Andosol Coklat, Andosol Coklat Kekuningan, dan Litosol seluas 3.107 ha (7,4%);
(d) Asosiasi Mediteran Coklat Kemerahan dan Mediteran Coklat seluas 1.969 ha
(4,7%); dan (e) Latosol Coklat Kemerahan seluas 29.613 ha (70,1%).
Salah satu faktor jenis tanah yang menyebabkan erosi
tinggi yaitu tanah litosol. Tanah litosol memiliki karakteristik sifat fisik
yang rapuh, sangat lemah terhadap pukulan air hujan. Sehingga apabila air hujan
yang turun mengenai tanah litosol maka air akan tidak mudah diserap oleh tanah
dan terjadi limpasan permukaan. Selain itu bahan induk dari tanah litosol ini
adalah batuan kapur. Yang termasuk dalam batuan lunak (batuan sedimen).
Sumber : Analisa Digital |
Gambar 7. Peta Sebaran Jenis Tanah Sub DAS Keduang |
Pada berbagai jenis tanah
yang telah disebutkan di atas mempengaruhi adanya daerah resapan air. Untuk
kawasan resapan yang baik dan normal alami berada pada kemiringan lereng antara
0%-15% dengan penggunaan lahan berupa hutan dan kebun yang membedakan antara
kawasan baik dan normal berupa pola penggunaan lahan dengan jenis tanah
rata-rata andosol dan latosol. Untuk kawasan resapan mulai kitis dan agak kritis terdapat pada kemiringan lereng antara
15%-25% dengan penggunaan lahan berupa pemukiman, sawah dan tegalan karena seagian besar
terdapat tanah jenis litosol yang untuk pertanian dan tanah ini mudah terkena
erosi lalu pada kawasan resapan air kritis terdapat pada kemiringan 25%-40% dengan
pola penggunaan lahan rata semak/belukar dan intensitas hujan yang tinggi
dengan jenis tanah mediteran yang sifatnya dengan jenis tanah lempung atau
tanah liat yang bersifat kedap air hal ini mengakibatkan daya resap air hujan
berkurang.
Tabel
2. Klasifikasi Penggunaan Lahan
Sumber: Hastono, dkk 2012 |
Akibat dari perubahan penggunaan lahan, daerah yang menjadi kawasan resapan air berkurang sehingga dapat disimpulkan semakin besar tingkat resapan (infiltrasi) maka semakin kecil tingkat air larian (run off), sehingga debit banjir dapat menurun dan sebaliknya aliran dasar (base flow) dapat naik. Akibatnya, recharge areas (daerah resapan air) yang berfungsi sebagai tempat meresapnya air hujan ke dalam tanah berkurang dan menyebabkan berkurangnya daerah yang menjadi tumpuan resapan air juga menyempit, dampaknya erosi tanah semakin besar.
A. Kondisi Penggunan Lahan
Penggunaan
lahan di Kabupaten Wonogiri mengalami perkembangan yang cukup cepat.
Berdasarkan data BAPPEDA Kab. Wonogiri, penggunaan lahan untuk areal sawah
9.639 Ha (22,57%), areal bangunan dan pekarangan 11.351 Ha (26,61%), areal
tegal 11.816 Ha (27,70%), areal padang rumput 71 Ha (0,17%), areal tambak &
kolam 2.000 Ha (4,69%), areal hutan negara 4.802 Ha (11,26%), areal perkebunan
18 Ha (0,04%) dan lainnya 1.252 Ha (6,98%). Dengan penggunaan lahan terbesar
untuk daerah tegalan yaitu 27,70% dan untuk penggunaan lahan perkebunan
memiliki area terkecil yaitu 0,40%.
Sumber : Analisa Digital |
Gambar 8. Peta penggunaan Lahan Sub DAS Keduang |
Pada kondisi penggunaan lahan
terbesar adalah pada penggunaan lahan tegalan. Artinya lahan tegalan yaitu
digunakan sebagai tempat budidaya tanaman. Tanaman yang biasanya di tanam pada
wilayah tersebut yaitu jagung dan kedelai. Pembukaan lahan yang dijadikan
sebagai lahan tegalan semakin besar tanpa adanya pertimbangan ekologi.
Dampaknya terjadi laju erosi yang terjadi semakin tinggi. Karena kurangnya
kelola dari masyarakat dan pihak yang bersangkutan. Pada daerah hulu seperti di
Sub DAS Keduang penggunaan lahan sebagai lahan pertanian harus dikelola supaya
tidak terjadi resiko yang besar terhadap lingkungan. Daerah hulu biasanya
dijadikan sebagai kawasan kelola tata air yang nantinya akan mempengaruhi
daerah tengah dan hilir. Apabila banyak dibuka sebagai lahan pertanian
dikhawatirkan daerah tangkapan air berkurang sehingga laju erosi akan terus
semakin meningkat.
Tabel 3.Data Klasifikasi Penggunaan Lahan Sub DAS Keduang
Sumber : Hastono, dkk 2012 |
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian mengenai kondisi
lahan di Sub DAS Keduang dapat disimpulkan bahwa :
1.
Kawasan
Sub DAS Keduang merupakan daerah hulu dari DAS Bengawan Solo yang memiliki
fungsi utama dalam tata kelola air.
2.
Sub
DAS Keduang memiliki tipe kelas lereng agak curam sampai curam.
3.
Jenis
tanah di Sub DAS Keduang yaitu litosol, latosol, mediteran. Tanah litosol
merupakan jenis tanah yang cocok untuk digunakan sebagai lahan budidaya
pertanian. Namun kurang bisa menahan laju erosi terjadi karena sifat tanah yang
rapuh.
4.
Prosentase
penggunaan lahan terbesar yaitu penggunaan lahan tegalan sebesar 27,07% dari
total luas kawasan.
5.
Dampak
dari kurangnya kelola akibat penggunaan lahan tegalan yang besar yaitu terjadi laju
erosi yang tinggi dan sedimentasi di Waduk Gajah Mungkur.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak,
C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Asdak,
C. 2009. Hidrologi dan Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Edisi Revisi II. Gadjah
Mada University
Press. Yogyakarta.
BP2TP
DAS, 2003. Laporan Kajian Nilai Ekonomi Pengelolaan DAS Dalam Pengendalian
Erosi-Sedimentasi. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Hastono, F.D., Bambang
S., Bandi S., 2012. Identifikasi Daerah Resapan Air Dengan Sistem Informasi Geografis
(Studi Kasus: Sub DAS Keduang). Undip. Semarang
Rahayu S, Widodo RH,
van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009. Monitoring air di
daerah aliran sungai.
Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - Southeast Asia Regional Office.
104p.
Rahman
M.M., Harisuseno D., Sisinggih D. 2012. Studi Penanganan Konservasi Lahan di
Sub Das Keduang Das Bengawan Solo
Kabupaten Wonogiri. Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 250–257. Malang
Komentar
Posting Komentar